Nuruddin telah meletakkan fondasi penyatuan kaum muslim dan menegaskan kembali legitimasi satu- satunya khalifah 'Abbasiyah yang bermazhab Sunni.
Pertikaian antara Saladin dan Nuruddin, yang tampak jelas terlihat saat itu, terhenti dengan wafatnya Nuruddin pada 1174.
Saladin selanjutnya menjadi pemimpin kaum muslim dalam Perang Salib.
Ia juga menjadi pemimpin Perang Salib yang paling terkenal.
Ia membuktikan bahwa dirinya pantas menjadi penerus Nuruddin.
Sepanjang 1174- 1178, upaya Saladin banyak dilakukan untuk menundukkan musuh- musuhnya dari kalangan kaum muslim sendiri dan menciptakan front bersama di Mesir dan Suriah melawan para Tentara Salib.
Kemenangan Saladin mencapai puncaknya ketika dia berhasil merebut kembali Yerusalem pada 2 Oktober 1187.
Saladin telah menciptakan sistem penguasa keluarga kolektif, yaitu dengan menempatkan kerabat- kerabatnya untuk mengawasi kota- kota dan wilayah- wilayah utama yang ditaklukkannya, sehingga tercipta konfederasi negara- negara yang bersifat longgar dengan dirinya sebagai pemimpin.
Sistem ini diikuti oleh para penerusnya, Ayyubiyah, yang merupakan dinasti keluarganya sendiri.
Dinasti Ayyubiyah dari suku Kurdi, anggota keluarga Saladin, mewarisi wilayah- wilayah di Mesir, Suriah dan Mesopotamia.
Tradisi- tradisi pemerintah mereka didasarkan pada tradisi pemerintah Turki Saljuk dan mereka juga mewarisi pemerintahan Fatimiyah di Mesir.
Pada 1228, Frederick II dari Sisilia tiba di Palestina untuk melancarkan Perang Salib.
Sultan Ayyubiyah al- Kamil, yang terancam oleh pertikaian internal keluarga, lebih memilih berunding daripada berperang dan membuat perjanjian dengan Frederick setahun kemudian, dengan menyerahkan Yerusalem, Bethlehem, Nazareth dan distrik- distrik lain ke tangan Tentara Salib.
Penyerahan Yerusalem membuat al- Kamil dikritik keras oleh berbagai kalangan kaum muslim.
Yerusalem diserang secara besar- besaran pada 1244 ketika pasukan Khawarazmi yang jauh di Asia Tengah, yang terusir oleh invasi Mongol dan bergerak ke arah Barat dengan kemarahan, memanfaatkan situasi lemah di Yerusalem.
Mereka menaklukkan dan merebutnya.
Sesudah itu, Yerusalem kembali dalam kekuasaan Islam.
Dengan tergulingnya Dinasti Ayyubiyah dan naiknya dinasti baru, yaitu Dinasti Mamluk yang militan dari Mesir, pada 1250, perlawanan Perang Salib dikobarkan kembali dan langkah- langkah yang diperlukan untuk mengusir para Tentara Salib selama- lamanya dari Timur Dekat dapat dilaksanakan secara bersamaan.
Serangan- serangan dari musuh baru, yaitu bangsa Mongol, dan kedatangan kaum Frank yang tanpa henti telah menjadi fokus utama untuk menyalurkan kekuatan dinasti baru tersebut.
Meskipun pasukan Mongol yang dipimpin Hülegü berangkat dengan tujuan- tujuan yang jelas, yaitu menghabisi Khalifah 'Abbasiyah, menghancurkan kaum Hasyasyin Alamut dan menuju ke Mesir, tujuan terakhir mereka tidak pernah tercapai.
Sekalipun ada perasaan cemas terhadap ancaman bangsa Mongol, sultan- sultan Mamluk lebih mengutamakan untuk mengusir para Tentara Salib, apalagi setelah mereka meraih kemenangan besar atas bangsa Mongol yang sebelumnya tak terkalahkan dalam pertempuran Sumur Daud ('Ayn Jalut) pada 1260.
Sultan Mamluk Baybars (w. 1277), raja yang sangat tegas dan keras, merupakan tokoh utama yang memulai proses pengusiran kaum Frank.
Setelah ia berhasil menyatukan Suriah dan Palestina, para Tentara Salib hanya bisa memberikan perlawanan kecil- kecilan.
Jatuhnya Acre pada 18 Mei 1291, suatu peristiwa yang dianggap menandakan berakhirnya kekuasaan kaum Frank di kawasan Mediterania timur dan dengan hengkangnya kaum Frank dari pelabuhan- pelabuhan yang masih mereka kuasai seperti Tirus, Sidon dan Beirut.
Sumber- sumber Islam menyebut kaum Kristen Eropa dengan istilah kaum Frank (al-ifranj).
Istilah bahasa Arab yang sepadan untuk para Tentara Salib (al- shalibiyyun, orang yang mengangkat senjata demi Salib) baru digunakan kemudian pada abad ke 19 dan ke 20.
Yang cukup menarik, etimologi kedua istilah tersebut, Crusader (dari bahasa Latin crux yang berarti kayu salib) dan shalibiyyun (dari bahasa Arab shalib yang berarti kayu salib) menegaskan pusat simbolisme Cross (kayu salib) yang mendasari operasi- operasi militer kaum Eropa yang kemudian dikenal dengan Crusade, yang berarti Perang Salib (dalam bahasa Arab modern disebut al- hurub al- shalibiyyah).
Demikian juga bagi kaum Kristen Eropa barat, suatu perang salib diyakini sebagai "usaha Yesus sendiri, yang dilegitimasi oleh mandatnya sendiri".
Carole Hillenbrand, 1999, The Crusade; Islamic Perspectives, Edinburg: terbitan Edinburg University Press.
Serambi Ilmu Semesta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar