Jilid I
Penerbit Balai Pustaka
Raja Amarta Sri Darmawangsa, Sri Yudhistira, Wrekodara, Janaka serta Nakula & Sadewa, Dyah Drupadi, Wara Sumbadra, Dewi Kunti
Setelah enam ratus tahun lamanya, baru mendapat petunjuk Dewa, Yudhistira supaya bertapa di daerah Majapahit, di tengah hutan Glagahwangi
Sunan Lepen "Kalijaga" saat memasuki hutan Glagahwangi melihat seorang bertubuh tinggi besar, memancarkan sinar cahaya, ukurannya lipat tiga dari manusia sekarang, bulunya lebat, panjang, rambutnya gimbal, duduk di bawah pohon beringin. (Yudhistira)
Yudhistira menjawab, "Saya Yudhistira, dahulu berasal dari Amarta, tatkala zaman Budha, masih beragama Brahma"
"Ketika saya diwisuda menjadi Raja, lalu dianugerahi azimat oleh Dewa Tertinggi, namanya kalimasada, atau Pustakajamus. Azimat itu berada di tangan kanan, sudah sangat lama tangan saya tidak dapat turun serta tidak dapat terbuka"
Jangankan mengerti bunyi tulisan & isinya azimat, membuka saja takut. Karena sabda dewa hanya memerintahkan memakai sebagai azimat saja
Kanjeng Sunan Kali berkata "bahwa azimat ini disebut Pustakajamus, artinya "surat hitam bertuliskan putih", dinamakan Kalimasada maksudnya "Kalimah Syahadat" sebenarnya. Kalimah Syahadat sekarang sudah terlaksana dipakai & dianut oleh orang yang sudah memeluk agama Islam, juga disebut agama Rasul
Pada zaman purwa "dahulu" wali dapat disamakan para resi serta pendeta, jadi hormat anda cukup bersalaman saja
Yudhistira memberikan kanjeng Sunan, berisi keropak bergambar tiga tokoh wayang: pertama Sri Baladewa, kedua Raja Dwarawati, ketiga Arya Wrekodara
Ketiga gambar wayang ini terapkan pada punggung maesa danu "kerbau hutan", maksudnya kulit kerbau. Tanduk kerbau hendaknya dipakai ototnya, kulit kerbau dipakai tulangnya. Ceritakanlah lakon demi lakon supaya menjadi suri teladan bagi seluruh isi dunia
Bila membuat wayang dengan mata bentuk kedhondhongan "buah kedondong", berpola pada gambar wayang Prabu Baladewa raja Madura, jika dengan mata bentuk liyepan "kecil panjang" berpola pada gambar wayang Sri Kresna raja negeri Dwarawati. Jika dengan bentuk mata mentheleng sereng "tajam keras" menarik, berpola pada wayang ksatria di Jodhipati, Raden Arya Wrekodara, jika wayang raksasa/ danawa, dengan pola anjing menyeringai
Wali wolu tanah Jawa "delapan wali pulau Jawa":
1. Kanjeng Sunan Ngampelgadhing (Raden Rahmat)
2. Susuhunan Gunungjati (Sayid Jen), Cirebon
3. Sunan Ngudung (Syekh Sabil)
4. Sunan Giri Gajahpura
5. Sunan Bonang (Raden Makdum Ibrahim)
6. Sunan Bukit Majagung (Raden Ngalim Hurerah)
7. Sunan Drajat (Masakeh Mahmud)
8. Sunan Kalijaga (Raden Sahid)
Saat Hyang Kala bersandar pada pohon kamal "asam" yang rindang, ia kesengsem "terpesona", "Pohon ini kunamakan pohon asem "asam"."
-"Binatang apakah yang memakan ludahku ini?, kau kuangkat menjadi prajuritku, kunamakan Kalajengking, karena ekormu njengking "menungging"."
-"Binatang apa ini, melahap ludahku. Jadilah kau prajuritku. Kau menggigitku sampai abang "merah", kini kau bernama Kalabang "kala merah"."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar