Harvey, Barbara Sillars, (1989). Pemberontakan Kahar Muzakkar dari Tradisi ke DI/ TII. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Holt, Claire. 1939. Dance Quest in Celebes. Paris: Les Archives Internationales de la Dance.
Karepesina; Ja'cuba, at.al.. (Pengantar: Abdullah Dr. Taufik). 1988. Mitos, Kewibawaan dan Perilaku Budaya. Yayasan Ilmu- Ilmu Sosial.
Kern; R.A. I La Galigo. 1989. Yogyakarta- Jakarta: Gajah Mada University Press & KITLV, 1989.
Koolholf, Sirtjo dan Roger Tol. 1995. I La Galigo (Menurut Naskah NBG 188 yang disusun oleh Arung Pancana Toa). Jakarta: KITLV dan Djambatan.
Lathief, Halilintar. 1987. Tari- tarian Daerah Bugis. Yogyakarta: Institut Press.
Lathief; Major Inf. A. 1957. Masalah Keamanan. Makassar: Ko. Pemuda Pembangunan Lompobattang.
Mattalioe, M. Bahar. 1994. Pemberontakan Meniti Jalur Kanan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Mone, Abdul Rahim. 1958. Pelantikan Pimpinan Bissu. Majalah Kebudayaan Sulawesi No. 2/ Oktober 1958.
Mone; Abdul Rahim. 1975. Pesta Palili di Segeri. Ujung Pandang: Kantor Cabang II L.S.A.
Muhni; Djuretna A. Imam. 1994. Moral dan Religi. Kanisius, Yogyakarta.
Nofal; Ir. Abdul Razaq. 1975. Alam Jin dan Malaikat. Bulan Bintang.
Noorduyn. 1972. Islamisasi Makassar. Jakarta: Bhratara.
Pelras, Christian. 1996. The Bugis (The Peoples of South- East Asia and the Pasific), Amerika Serikat: Blackwell Publishers.
Pritchard; E.E.Evans. 1987. Teori- teori Tentang Agama Primitif. (Terjemahan: Chen Hock Tong). Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia.
Roham; Drs. H. Abujaman. 1991. Agama Wahyu dan Kepercayaan Budaya. Media Da'wah.
Saparina, Sadli. 1976. Persepsi Sosial Mengenai Prilaku Menyimpang. Jakarta: Bulan Bintang.
Subagya, Rahmat. 1976. Kepercayaan: Kebatinan, Kerohanian, Kejiwaan. Yogyakarta: Kanisius.
Sukardjo, K. 1993. Agama- Agama yang Berkembang di Dunia dan Pemeluknya. Bandung: Angkasa.
Sulu, Phill M. 1997. Permesta, Jejak- jejak Pengembaraan. Jakarta: Sinar Harapan.
Tule LIC, Drs. Philipus dan Wilhelmus Djulei LIC. 1994. Agama- agama Kerabat Dalam Semesta. Nusa Indah Flores, NTT.
Verkuyl, Dr. J. 1958. Tari dan Dansa. Jakarta: Badan Penerbit Kristen.
Wouden; F.A.E. Van. 1985. Klen Mitos dan Kekuasaan. PT. Graffiti Press.
Sudah sejak lama kita mengetahui kehebatan Sawerigading dalam perjalanannya melanglang buana. Bahkan bukan saja dunia ini yang diinjakinya karena tokoh superman ini tak segan berjalan jauh- jauh sampai di luar angkasa, seperti yang dapat kita lihat pada episode Mappaliqna Sawerigading Saliweng Langiq, 'Terdamparnya Sawerigading di Luar Angkasa' (Fauziah 1998).
Diceritakan bahwa Batara Lattuq, maharaja Luwuq, melahirkan Batara Guru (tidak dikenal permaisurinya). Setelah Batara Guru mengambik alih kekuasaan di kerajaan Luwuq, maka Batara Lattuq menghilang (diperkirakan kembali ke kayangan). Batara Guru dikaruniai tiga orang anak:
1. Lagaligo (sulung) ahli di bidang sejarah dan sastra pada umumnya.
2. Sawerigading (anak kedua) menjadi orang sakti, ahli perang dan perantau.
3. Batendriajeng (wanita, anak bungsu) ahli dan menguasai soal- soal adat setempat.
Epik raksasa ini bergerak ketika Patotoqe (Sang Penentu Nasib) memperoleh laporan bahwa Dunia Tengah ternyata kosong melompong. Patotoqe lalu bertindak menjalankan perannya yang sejati, dengan terlebih dahulu mengumpulkan segenap dewa di Puncak Langit dan Dunia Bawah Tanah.
Peran terpentinh dari Patotoqe sang Dewa Tertinggi, bukanlah sekedar sebagai Sang Penentu Nasib. Ia harus menyebarkan kehidupan di dunia, menjaga dan merayakannya, sehingga dunia yang tadinya kosong, menjadi meriah dan bercahaya.
Jika tak ada kehidupan di dunia, maka takkan ada manusia di sana dan tanpa manusia maka takkan ada Dewa Maha Tinggi yang menentukan nasib (yang ada hanya sekedar penghuni langit). Konsep inti di sini adalah kehidupan, kemanusiaan. Adapun penyembahan manusia kepada Dewata yang Maha Tinggi, hanyalah akibat samping dari penciptaan kehidupan dan kemanusiaan.
Menurut Sureq Galigo, padi baru diperkenalkan sekitar setahun kemudian dihitung dari awal kedatangan Batara Guru yaitu ketika salah seorang isterinya bernama We Saung Riuq melahirkan seorang putri yang diberi nama We Oddang Riuq.
Hanya tujuh hari usianya ia lalu meninggal. Maka dicarilah hutan yang lebat, gunung yang tinggi dan hulu sungai untuk dibuatkan makamnya. Hanya tiga malam setelah anak itu dimakamkan, Batara Guru lalu pergi mencari makam anaknya itu. Tetapi yang ditemuinya bukan makam, melainkan hamparan tanaman.
Karena heran ia langsung pergi menghadap Patotoqe (ayahnya) untuk menanyakan apa gerangan yang ia jumpai. Jawaban yang ia peroleh: "La na ritu anaq riaseng Sangiang Serri, Anaqmu ritu mancaji ase", artinya "Itulah (Paduka) anakda yang disebut Sangiang Serri, anakmu itulah yang menjelma menjadi padi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar