Kamis, 14 Maret 2024

Tragedi Karbala

Pemimpin İslam setelah Rasulullah dan khalifah pertama (Abu Bakar) wafat mengalami berbagai ujian.

Umar bin Khattab sebagai khalifah kedua tewas dibunuh Abu Lu'lu'ah, seorang pandai besi asal Persia.
Ia mendendam setelah Persia ditaklukkan pasukan İslam.
Saat Umar bin Khattab dan kaum muslimin melaksanakan sholat subuh di Masjid Nabawi, Abu Lu'lu'ah menikah tubuh khalifah hingga meninggal dunia.

Sementara khalifah ketiga, Ustman bin Affan, tewas dibunuh kaum oposisi saat terjadi krisis politik yang tidak puas dengan kepemimpinannya.
Kaum muslimin yang datang dari Mesir, Bashrah dan Kufah mengepung rumah khalifah selama hampir empat puluh hari.
Ustman bin Affan akhirnya tewas dihunjam dua tombak pendek milik para oposisi.

Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat meninggal dunia dibunuh Abdurrahman bin Muljam, seorang Khawarij, ketika ia sedang wudhu untuk menunaikan shalat Subuh.
Abdurrahman bin Muljam yang datang tiba- tiba mengayunkan pedangnya.

Sejak kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abu Sufyan dari Bani Umayyah yang berkedudukan di Syam atau Suriah terus merongrong.
Ia berambisi merebut tampuk kekuasaan khalifah.
Sepeninggal khalifah Ali bin Abi Thalib, kaum muslimin di Kufah sebagai pusat pemerintahan İslam membaiat Hasan bin Ali.

Menurut Al- Hamid Al- Husaini dalam Al- Husein bin Ali, Pahlawan Besar dan Kehidupan İslam pada Zamannya (1978), beberapa saat sebelum Ali bin Abi Thalib wafat, salah seorang sahabatnya bertanya apakah para pengikutnya harus membaiat salah satu putranya, yakni Hasan.
Ali bin Abi Thalib menjawab, "Aku tidak menyuruh dan tidak melarang."

Mulanya Hasan enggan menerima pembaiatan dirinya sebagai khalifah, tapi ia didesak pendudul Kufah sehingga akhirnya menerimanya.

Karakter Hasan yang lebih menyukai perdamaian membuat ia mengirim surat kepada Muawiyah, isinya mengajak Muawiyah untuk bergabung bersama orang- orang yang telah membaiatnya sebagai khalifah.
Namun, Muawiyah yang telah berpengalaman dalam dunia politik justru menjawabnya dengan sinis.

"Jika aku yakin bahwa engkau lebih tepat menjadi pemimpin daripada diriku, dan jika aku yakin bahwa engkau sanggup menjalankan politik untuk memperkuat kaum muslimin dan melemahkan kekuatan musuh, tentu kedudukan khalifah akan kuserahkan kepadamu." Jawabnya.

Khalifah memutuskan untuk melakukan perdamaian dengan Muawiyah.
Salah satu poin perjanjian damai tersebut adalah menyerahkan kekhalifahan kepada Muawiyah.

Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Al Bukhari, yang dikutip Hamka dalam pengantar di buku karya Al- Hamid Al- Husaini, Rasulullah bersabda:

"Sesungguhnya anakku [Hasan]- Rasulullah kerap memanggil cucunya dengan ungkapan 'anakku' - ini adalah Sayid (tuan). Dan moga- moga Allah akan mendamaikan dengan anak ini di antara dua golongan kaum Muslimin."

Hal ini, menurut Hamka, memang terjadi pada tahun 40 Hijriyah saat Hasan menyerahkan kekuasaannya kepada Muawiyah, sehingga dua kubu yang berseteru dapat bersatu di bawah kekhalifahan Muawiyah.

"Tahun penyerahan kuasa itu dinamai orang: 'Aamul Jamaah' atau tahun bersatu kembali," tulis Hamka.

__

Hasan yang telah menyerahkan kekhalifahannya kepada Muawiyah akhirnya meninggalkan Kufah dan pergi ke Madinah. Sampai akhir hayatnya ia tinggal di kota tersebut.

Muawiyah meninggal dunia pada tahun ke-60 Hijriyah setelah sebelumnya menobatkan Yazid bin Muawiyah, anaknya, sebagai putra mahkota yang akan meneruskan kepemimpinannya.

Kebencian Muawiyah kepada Ali bin Abi Thalib dan kebencian Muawiyah kepada Hasan, terus berlanjut ketika Yazid berkuasa yanh membenci Husein, adiknya Hasan.
Hal ini yang menyebabkan pembataian terhadap Husein dan pengikutnya di Karbala.

Dalam catatan Al- Hamid Al- Husaini, kebencian Muawiyah terhadap Ali bin Abi Thalib dilatari tiga hal:
Pertama, fanatisme kekabilahan yang secara turun- temurun menanamkan kebencian dan permusuhan terhadap orang- orang Bani Hasyim (Ali bin Abi Thalib keturunan Bani Hasyim).
Kedua, karena Muawiyah tahu bahwa dalam peperangan masa lalu antara kaum Musyrikin Quraisy dan kaum Muslimin, banyak keluarga dan kerabatnya yang tewas di ujung pedang Ali bin Abi Thalib.
Ketiga, Muawiyah mengenal tabiat Ali bin Abi Thalib sebagai sahabat Nabi yang keras membela kebenaran dan keadilan serta berani bertindak tegas terhadap kebatilan dan kezaliman.

Naiknya Yazid sebagai penguasa baru yang berkedudukan di Damaskus, Syam, segera mengintai keselamatan Husein yang tinggal di Madinah.
Demi keselamatan, ia beserta keluarganya akhirnya pindah ke Makkah.

Penduduk Kufah yang semula daerahnya dijadikan pusat pemerintahan kekhalifahan, merasa kecewa dengan kepemimpinan Yazid.
Mereka mengharapkan perubahan, dan harapan itu mereka sandarkan kepada Husein.

Mereka lalu meinta Husein untuk pergi ke Kufah untuk mereka baiat sebagai khalifah.
Rencana pembaiatan Husein sebagai khalifah terdengar oleh Yazid.
Ia lalu mengganti kepala daerah Kufah, Nu'man bin Bisyr oleh Ubaidillah bin Ziyad yang terkenal kejam.

Sejumlah sahabat dan keluarga Husein menasehatinya agar ia membatalkan niatnya untuk berangkat ke Kufah.
Mereka mencemaskan Husein dan ragu akan sikap penduduk Kufah.

"Aku khawatir kalau mereka membohongimu dan akan membiarkanmu menghadapi musuh seorang diri, bahkan tidak mustahil mereka akan berbalik menghantammu dan akan berlaku kejam terhadap keluargamu, "kata Abdullah bin Abbas, saudara Husein.

Nasehat juga disampaikan oleh Abdullah bin Ja'far, ipar Husein.
Ia menulis surat dari Madinah.

"Aku minta dengan sangat supaya anda membatalkan rencana keberangkatan ke Kufah setelah menerima suratku ini.
Aku benar- benar khawatir kalau niat anda itu akan mengakibatkan anda binasa bersama segenap anggota keluarga anda.
Kalau hal itu sampai terjadi, maka padamlah cahaya di permukaan bumi ini.
İngatlah, bahwa diri anda sesungguhnya adalah lambang semua orang beriman.
"tulis Abdullah bin Ja'far.

__

Semua nasehat dan kekhawatiran yang terpancar dari keluarga dan para sahabatnya tidak berhasil membatalkan niat Husein untum pergi ke Kufah.
Keharuan menyelimuti penduduk Makkah saat mereka akhirnya terpaksa melepas Husein dan rombongannya yang hendak menuju Kufah pada 18 Zulhijah tahun ke-60 Hijriyah.

Rombongan Husein tiba di Karbala pada 2 Muharram 61 Hijriyah di bawah pengawasan ketat pasukan berkuda utusan Ubaidillah bin Ziyad yang dipimpin oleh Al- Hurr bin Yazid At- Tamimiy.

Pada 10 Muharram 61 Hijriyah atau 10 October 680 Masehi, 4000 pasukan yang dipimpin Umar bin Sa'ad bin Abi Waqqash menyerbu rombongan Husein yang hanya berkekuatan 72 orang.

Pasukan Husein bertempur merangsek menghadapi pasukan musuh.
Namun mereka akhirnya tumpas.
Setelah pasukannya habis, akhirnya Husein pun dibunuh.

Perang Karbala menjadi batu tapal dimulainya keterbelahan antara kaum Sunni dan Syiah secara luas di seluruh dunia.



tirto.id/tragedi-karbala-kematian-husein-bin-ali-dan-terbelahnya-islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar