Senin, 18 Agustus 2025

Serat Babad Banyuurip II - RH Oteng

Kemudian para Bekel Banyuurip diperintahkan untuk menunjukkan tempat- tempat untuk tinggal mereka. Adapun tempat tinggal Ki Gedhe Sukawati diberi nama Dusun Sukawaten dan tempat nggegola (melatih) para Pemuda untuk menjadi prajurit disebut Desa Golok asal kata dari nggegola dan tempat tinggal para Bintoro (Bintara) yang melatih mereka disebut Desa Bintarang.

Sedangkan tempat tinggal Ki Gedhe Wongsorogo disebut dukuh Wongsoragan dan para pengiring yang berasal dari Surabaya menempati dusun yang disebut Dusun Surabayan yang kemudian berubah menjadi Dusun Sururejo. Semuanya ada di wilayah Kecamatan Banyuurip sekarang.

Selanjutnya tempat yang dipakai untuk merawat memelihara para pemuda- pemuda calon prajurit itu disebut Desa Persudi (dari kata Mersudi yang artinya merawat) kemudian berubah menjadi desa Persidi, sekarang termasuk kecamatan Purwodadi.

Ki Gedhe Wongsorogo karena dia senang dengan para pemuda yang bergodheg dan berkumis tebal, maka diapun melatih mereka dengan baik dan dianjurkan semuanya memelihara godheg (bahasa jawanya Jebres) dan berkumis (bahasa Jawanya Brengos).
Sehingga daerah itu disebut Dukuh Jebres dan Dukuh Brengosan, sekarang berada di desa Mangunrejo, Kecamatan Banyuurip.

"Gusti Pangeran, kami berdua siap untuk merebut kembali Majapahit dari tangan Sang Prabu Girindrawardhana Barawijaya VI. Tahta Paduka Ayahanda Gusti harus kembali ke tangan yang berhak Gusti!" Demikian ki Gedhe Sukowati membujuk sang Pangeran.

Tersentak sang Pangeran Tampan, mendengar bujukan rayuan dari kedua Tumenggung Majapahit itu. Kemudian berkata lirih sang Pangeran:

"Paman, rupanya memang sudah menjadi kehendak para Dewata Mulia, bahwa tahta Majapahit harus berpindah tangan, rakyat Majapahit harus berganti Junjungan. Sebaiknya kita tidak terlampau tergesa, paman berdua sebaiknya tinggallah beberapa waktu di Banyuurip ini.

Paman Sukawati nanti tinggal di sebelah Timur Laut, silahkan paman mengumpulkan anak- anak muda untuk dilatih menjadi prajurit yang tangguh. Sedangkan paman Wongsorogo tinggalah di sebelah Timur, juga melatih penduduk di sana untuk bercocok tanam yang baik.

Kemudian para prajurit pengiring paman berdua, yang berasal dari Surabaya sebaiknya tinggal menetap sambil juga membantu kedua paman dalam melatih prajurit dan mengolah tanah. Biar nanti para Bekel Desa Banyuurip yang akan mengantar paman dan para pengiring ke tempat- tempat tadi.

Rakit Ki Buyut Singgelo dibawa air sungai yang kebetulan saat itu sedang banjir. Sampai pada suatu saat, rakit Ki Buyut terperangkap di sebuah kedhung (palung sungai) di tepi desa, sehingga hanya berputar- putar tapi tidak hanyut. Oleh karena itulah desa di pinggir sungai tersebut nantinya akan dikenal dengan nama Krandhegan, dari kata Kandheg yang berarti terhenti.

Akhir perjalanan dengan rakit yang dilakukan Ki Buyut adalah ketika rakitnya memasuki perangkap ikan yang biasa disebut Bara, sehingga daerah tersebut disebut Desa Bara (di daerah Kecamatan Banyuurip sekarang).

Ternyata yang memasang perangkap tersebut adalah ki Bodho, seorang pemuda desa. Setelah berkenalan sekedarnya, maka oleh si pemuda Ki Buyut dihadapkan kepada pimpinannya, yaitu ki Kuwu Desa Ganggeng.

Diajak pula beberapa orang, abdi Kademangan yang perkasa, akan bakal pengusung raga Rakanda, Sang Pangeran Jayakesuma kembali ke Banyuurip.

Ki Manguyu menemui Ki Lowo Ijo yang tengah menanti, sambil menunggui jenazah kedua Kesatria tahadi. Dengan jelas ki Lowo Ijo menceritakan, perihal tewasnya kedua satria itu, tanpa ada yang tertinggal, diakhiri dengan permintaan maaf atas keteledorannya itu.

Ki Manguyu tiada dapat berkata lain selain mengucapkan terima kasih dan memohonkan maaf akan kesalahan rakanda Pangeran, baik kepada keluarga Pakuwon Ganggeng maupun kepada keluarga Kadipaten Loano.

Kemudian dimintakan izin untuk membawa raga tak bernyawa rakanda Pangeran, kepada ki Lowo Ijo, berniat untuk disempurnakan di Banyuurip sahaja.

Tiada keberatan dan tiada pula keengganan, ki Lowo Ijo menyerahkan dengan baik kepada ki Manguyu, jasad sang Pangeran untuk dibawa ke Banyuurip. Lalu keris pusaka Majapahit ki Panubiru pun segera diambil dan dimasukkan ke dalam warangkanya, lalu dengan hati- hati diselipkan di pinggangnya.

Seorang tetua Pakuwon tampil dengan penuh wibawa, lalu mohon waktu kepada ki Lowo Ijo maupun ki Manguyu, untuk angkat bicara. Setelah diijinkan, maka berdirilah dengan tenang dan berwibawa ki Tetua Pakuwon dihadapan semua penduduk Pakuwon Ganggeng yang hadir.

"Wahai saudara- saudaraku, hari ini kita telah menyaksikan pemimpin kita yang kita cintai, yang kita muliakan, di depan jasad tanpa nyawanya, yang tewas sampyuh melawan Pangeran Jayakesuma dari Banyuurip.

Mulai saat ini kita orang Ganggeng, tidak boleh ada perkawinan anak- anak kita pemuda- pemudi Ganggeng dengan pemuda- pemudi Banyuurip. Karena hanya malapetakalah yang akan menimpa mereka yang berani melanggar pepali ini. Camkanlah wahai para kadang Pakuwon ganggeng!"

Adipati Anden mengikuti langkah sang permaisuri. Sampailah di tepi Sungai Bogowonto yang indah dan jernih. Mereka beristirahat di bawah sebuah pohon yang amat rindang dan berbuah lebat.

Oleh suaminya dijawab bahwa pohon itu bernama pohon LO yang buahnya enak dimakan. Akibat percakapan keduanya itulah maka mereka menjadi berkenalan kembali dalam bahasa Jawa disebut Wanuh (kenal). Karena terjadi di bawah pohon LO itulah rukunnya kembali Permaisuri dan sang Adipati Anden.

Maka dikemudian hari daerah tersebut dikenal dengan Lowano, yang berasal dari LO dan WANUH (pohon LO tempat rukun kembali). Daerah tersebut sekarang dikenal dengan nama Loano.

Menurut bahasa Sansekerta/ Jawa Kuno, LOWANO berasal dari kata LO (artinya pohon LO, tetapi juga LOH artinya tempat yang subur makmur tiada kekurangan air dan WANUA atau desa, digabungkan menjadi LOHWANUA artinya Desa yang subur makmur tak kekurangan air dan memang senyatanya daerah tersebut sampai sekarang adalah daerah subur makmur tiada kekurangan air.

Lalu kata LOHWANUA lama kelamaan berubah menjadi LOWANU atau LOANO, jadilah nama desa itu LOANO atau LOWANO, yang dikemudian hari menjadi nama Kecamatan LOWANO, yang terletak disebelah utara daerah Kecamatan Purworejo.

Menurut Silsilah LOWANU, keturunan Adipati Anden yang kemudian bergelar BETARA LOWANU tersebut tercatat pula nama Nyai Cokroleksono yang merupakan nenek dari Kangjeng Raden Adipati Cokronegoro Pertama, yaitu Bupati Purworejo yang pertama.


Selesai tatahan, ki Manguyu mengajak belahan jiwanya menyaksikan, sukacita sang sudewi, demi melihat gambar yang indah terwujud. Lalu berkata lirih kepada rakanda.

"Aduuh kakang, tiada terkira hamba bersuka, melihat tatahan yang sempurna, gambar kedua putra raja kuna, yang tampan dan yang jelita."

"Dinda garwa kakang yang setia, tersanjung kakanda mendengar atur adinda menjunjung, karya kakanda yang sederhana, berputra molek ataupun tampan, semua akan kita terima, pemberian Dewata Mulia Raya."

"Betul sekali ujar kakanda, mulai kali ini, izinkan hamba berpesan agar nama sendang ini disebut "Sendang Tinatah" artinya sendang yang mempunyai gambar tertatah pada batu keras pembatas sendang. Kemudian kepada semua penduduk dan keturunan hamba, apabila nanti mengandung putra hendaknya mandi dan minum air Sendang Tinatah ini. Demikian tutur hamba kakang!"

"Sungguh indah nama sendang Tinatah, baiklah, semoga anak keturunan kita semua penduduk Desa Banyuurip, hendaknya menataati dan menjadi sabda adinda Dewi!"

Akhirnya sebutan Sendang Tinatah berubah menjadi Sendang Pinatah.
Sang Sudewi melahirkan bayi perempuan, ni Sinomkesuma. Setah menginjak saatnya menikah, dinikahkan dengan pemuda masih trah Majapahit juga. Kemudian berputra dua orang satria. Bernama Raden Bagus Toka dan Raden Bagus Singa.

Setelah dewasa kedua kaka beradik berniat ingin mengabdi kepada kerajaan.
Yang menguasai wilayah Banyuurip dan seluruh tanah Jawa adalah Kerajaan Mataram disebut juga Ngeksigandha. Yanh bertakhta di Kerajaan Mataram pada saat itu ialah Sang Panembahan Prabu Agung Hanyokrokusumo.

Kemudian Bagus Toko dan Bagus Singo berpamitan kepada kedua orangtuanya, berniat untuk mengabdi ke Plered. Keris pusaka Kyai Panubiru pusaka eyang buyutnya Pangeran Jayakesuma disengkelit di pinggang Bagus Toko, sedangkan adindanya menyengkelit pusaka Kyai Condhong peninggalan eyangnya Ki Manguyu.

Bukit menoreh didakinya, kali Bogowonto yanh saat itu masih deras alirannya di seberanginya.

Serat Babad Banyuurip - RH Oteng Suherman

Disampaikan oleh RH. Oteng Suherman/ Pustaka srirono Purworejo/ 2015.

1. Terusir dari Negeri Majapahit
2. Tersesat
3. Air Kehidupan (Banyuurip)
4. Sang Dara nan Jelita

5. Ki Manguyu Trah Galuh
- Kisah 1 Prabu Barmawijayakusumah, Pengganti Raja Galuh
- Kisah 2 Ki Ajar Sidik Permana yang Sakti
- Kisah 3 Dewi Naganingrum Selong
- Kisah 4 Aki Balangantrang
- Kisah 5 Ciung Wanara

- Kisah 6 Ayam Jantan kinantan
- Kisah 7 Taruhan Separuh Negara
- Kisah 8 Menuntut Balas

6. Melaga Puyuh
7. Ki Manguyu Rabi
8. Galau Kacau, Gundah Resah
9. Sowan Ki Buyut Singgelo

10. Geger di Kaputren Lowano
11. Tapa Ngeli Ki Buyut Singgelo
12. Pertempuran Seru di Puri Lowano
13. Perang Sampyuh

14. Sumur Pinatah
15. Menjadi abdi Dalem Mataram
16. Menjadi Tamtama Mataram
17. Turut Menyerbu ke Jakarta


Sesaat kemudian, Keris sakti dicabut kembali, ditarik sepenuh hati, senantiasa mantram mengiringi, tercabut Sang Panubiru keris pusaka, dari dalam bantala pertala dan memancarlah air keluar, membasahi permukaan tanah, tiada berhenti memancar sehingga mengalir bak anak sungai, kemudian membanjir menutupi cekungan tanah, laksana kolam kecil berair bening.

Gembira sang pangeran, menampak air keluar tiada henti, bening sungguh air suci. Berseru Pangeran kepada adinda, Ni Putri Manikwulan dengan segera, bahwa air sudah tersedia, dapat melepas dahaga tiada tara. Berlari ni Dewi menuju arah suara, teriakan rakanda nan membahana, gembira ria menampak tirta, alamat haus segera hapus.

Itulah asal mula sumur Beji di situ, yang menjadi andalan penduduk, lalu daerah dimana tirta timbul, memancar membentuk sumur, dinamakanlah desa BANYUURIP begitu, artinya Air yang membuat hidup.

Di timur Kab. Purworejo ada daerah yang namanya Sami Galuh, wilayah Kilon Progo sekarang yang menunjukan masih wilayah Galuh zaman itu. Setelah dalam peperangan antara Prabu Ciung Wanara dengan Raden Arya Bangah adik tirinya, yang berakhir dengan kalahnya Arya Bangah, maka seperti Raden Jaka Sesuruh, raden Arya Bangah pun melarikan diri ke arah timur.

Kemudian bertemu lagi dengan Raden Jaka Sesuruh yang menjadi suami Raja Majapahit, kemudian dijadikan Adipati di daerah Pagelen.

Raden Arya Bangah ini berputra tiga oranh yaitu Dewi Rasawulan, Raden Udakusuma dan Raden Ranukusuma.

Selanjutnya Raden Arya Bangah yang sudah menjadi Adipati di Pagelen, putranya yang bernama Dewi Rasawulan kemudian diambil menjadi Garwo Ampil (Selir) oleh Prabu Hayan Wuruk semasa masih menduduki kedudukan Pangeran Adipati Anom (Putra Mahkota).

Dari garwo ampil ini Prabu Hayam Wuruk berputra dua oranh yaitu Pangeran Pekik Jayakesuma dan Dewi Manikwulan yang biasa disebut Ni Putri.

Selanjutnya Putra Adipati Harya Bangah yang lain yaitu Raden Udakusuma dan Raden Ranukusuma mohon kepada ayahanda untuk membuat daerah baru. Di daerah itu mereka mendirikan desa baru dan membuat sumur untuk keperluan mereka serta penduduk sekitarnya, setelah jadi dua sumur itu dinamakan Sumur Kembaran.

Selanjutnya kedua putra itu berpisah, Raden Udakusuma bersama pengiring- pengiringnya berjalan ke arah Utara dan sampai di suatu daerah yang subur makmur dengan aliran sungai Bogowonto (cihWatukoro), yang kemudian bernama daerah Lowano.

Di sana Raden Udakusuma menetap dan berganti nama menjadi Raden Udopati. Kemudian berputra Raden Arya Singgela, selanjutnya menurunkan para pembesar di Lowano.

Sedangkan Raden Ranukusumo berganti nama menjadi Raden Ranupati dan tetap tinggal di desa Condhongsari, termasuk daerah Banyuurip. Raden Ranupati ini berputra raden Hadiwijaya yang senang mencari ilmu di Padepokan- padepokan, pertapaan- pertapaan, berguru kepada para Reshi, Pendita dan Bhagawam, maka dari itu dia disebut cantrik atau dalam bahasa Sansekerta disebut MANGUYU.

Oleh karena itu Raden Hadiwijaya itu selalu disebut dengan nama ki Manguyu.

Pangeran Joyokesumo dengan tajam memperhatikan pertarungan seru itu, segala gerak- gerik si Kebrok tidak luput dari pengamatannya, kadang- kadang tersenyum atau tertawa kecil apabila dilihatnya si Kebrok puyuh kesayangannya berada di atas angin, tapi mulut tampak merengut bila melihat si Kebrok berlaku surut.

Sedang ki Manguyu duduk dengan tenang dan diam, namun tatapan tajamnya tidak lepas dari si Balut puyuh miliknya, sesekali wajah tampannya berseri tapi kadang juga kedua alisnya mengerut hampir beradu kedua ujung alis di atas dahinya.

Seorang Botoh dari pihak Pangeran Jayakusuma sambil bergerak- gerak menari- nari, tampil kedepan lalu membentak dengan keras (hentak) pula. Botoh ki Manguyu pun tidak mau kalah, lalu menghardik juga dengan kerasnya, diikuti oleh yang memasang taruhan pada si Balut.

Jadilah mereka saling hentak- menghentak (menghardik), untuk memberi semangat puyuh jagoan masing- masing. Maka tempat itu disebut dusun Sentakan, yang berada di desa Sumbersari kecamatan Banyuurip sekarang.

Ki Manguyu ialah salah satu keturunan Raden Harya Bangah, putra Prabu Galuh Pakuan Pajajaran. Sedangkan ni Putri Manikwulan adalah putri raja Majapahit, maka bertemu kembali dua darah yang berasal dari satu keturunan.

Pernikahan yang membahagiakan, sebetulnya yang dicita- citakan oleh Pangeran Joyokesumo, kalau Puyuhnya si Kebrok menang, tentu ki Manguyu akan menjadi hambanya, dia akan menikahkannya dengan adindanya, tetapi bila puyuhnya si Kebrok kalah, tetap pula ki Manguyu akan menjadi suaminya adindanya.

Orang- orang Banyuurip pada suatu saat mendengar suara puyuh yang tampak kesakitan napasnya Keme- rumpyung. Untuk memastikan kebenarannya (dalam bahasa Jawa disebuy Amertaake), diperintahkan orang- orang membuktikannya ke tempat itu yang masih berupa hutan.

Kemudian tempat- tempat itu disebut dusun Ngadimerta dan lokasi hutan dimana diperkirakan si Kebrok berada disebut dusun Krumpyung.

Pada akhirnya orang- orang menemukan puyuh si Kebrok dalam keadaan sudah mati menjadi bathang (bangkai), maka dusun itu disebut Bathang. Karena sayangnya, bathang si Kebrok dikuburkan dengan baik- baik dan tempat itu disebut dusun Candi.

Jumat, 15 Agustus 2025

Babad Banyuurip- Suwita Pawira

* Titihane Pangran Jayakusumeki, jamus ulesira, ngagem wangkingan mantesi, klabed ijem pan sembada.
* Nama Kyai Panubiru pan respati, lawan anyuriga, Kyai Dhalangkuru apik, dhapur wedhung pasowanan.
* Tan kawarna neng marga Rahaden Mantri, prapta aneng paran, ing tanah Bagelen prapti, ningali Rahaden Putra.

* Lon ngandika Pangran dhateng kehing jalmi, heh mupakatena, desa iki sun wastani, anamaa Toyagesang.
* Saur manuk wong desa pan ageng alit, dhusun wus mupakat, wus karan desa Banyuurip, kang rayi Sang Dyah winarna.
* Saur manuk wong desa pan ageng alit, dhusun wus mupakat, wus aran desa Banyuurip, umum wong desa sadaya.

* Kang pilenggah aneng dhepok ing Parigi, wus kasub ing kathah, jujuluk Pangran Banyurip, kang rayi Sandyah winarna.
* Marengi malem Jumuwah, Jeng Pangran lenggah Parigi, pitekur ngaler adepnya, ningali padhanging langit, cumlorot kadya thathit, ngaler ngilen pan sumunu, wau Kangjeng Pangeran, ngandika sajroning galih, sun wetara pulunge wong mara tapa.

* Enjing surya duk kumrangsang, Jeng Pangran sigra lumaris, teken jungkat lir pandhita, ngaler ngilen lampahneki, tan dangu sampun prapti, dhusun Condhong wus kadulu, jalma asila tumpang, ngadhep reseg ingsi peksi, puyuh walik nekem telik ngasta walang.
* Jeng pangran prapta ngarsanya, panggonane jalma luwih, jumeneng sarwi ngandika, heh jebeng sun takon yekti, sira anyandhing peksi, apa asring sira edu, Ki Menguyu turira, dereng nate kula cobi, nanging sampun lami ge kula gadhah.

* Jebeng payo sukan- sukan, ingsun duwe puyuh sisji, si Kebrok namaning gemak, iya saking Majapahit, payo sun du benjing, Ki Manguyu lon umatur, inggih dhateng sumangga, Jeng Pangran ngandika aris, pira tohe lamun tarung gemakira.
* Ki Manguyu lon turira, kawula tan darbe picis, anjawi gulu kawula, kawula ge toh ing benjing, Jeng Pangran anauri, iya ingsun toh sadulur, ariningsun.

* Ucape wong kathah- kathah, upama lir nyupatani, yen mangke ing ngakir benjang, ywa kena dhaup suteki, wong Ganggeng lan Banyurip, samya tibaken pamuwus, yen wong Ganggeng raharja, rusak turune Banyurip, lamun arja Banyurip wong Ganggeng rusak.
* Wus misuwur wartanira, Ki Manguyu ing Banyurip pitekur neng tepi toya, pan wus miarsa pawarti, lamun mekrad Sang Pekik, dhuwung kantun prenahipun, sigra denya utusan, Ki Panu kinen ingambil, tan kawarna duta wus prapta ing prenah.

* Ki Panu lawan sarungan, sumeleh aneng ing siti, sawetane Ganggeng desa, neng ra- ara gya ingambil, binekta mantuk mring Banyurip, wus katur mring Ki Manguyu, meksih nganti kewala, pitekur tepining Beji, gya binekta mantuk mring wismanira.
* Lan arsa suka uninga, mring garwa Sang Raja Putri, lumampah sarwi karuna, Panubiru sinangkelit, cinothe aneng ngarsi, wus panggih lan garwanipun, nuju neng ngingsor wreksa, Sang Retna kagyat ningali, ingkang raka praptanya sarwi karuna.

* Dhaweg Kyai andika tawu kang sumur, kularsa wruh sating warih, kaya ngapa jroning sumur, Ki Manguyu anauri, ngandhap wonten sela katon.
* Sang Retnayu angudi yun wruh satipun, Ki Manguyu sigra manjing, cawetan gya nyandhak wakul, kinarya ambingkas warih, niring ranu sela katon.

* Poma samya ngambila banyuning sumur, Tinatah namaning belik, kasawaban gambar iku, Candrakirana lan Panji, lamun jabang bayi miyos.
* Lah ta Kyai dhaweg nuli sami mantuk, mring wisma dhepok Parigi, tan cinatur Ki Manguyu laminya, yata Sang Putri, denya bobot nulya miyos.

* Mbabar estri endah warna cahya mancur, wong kering kanane keh prapti, miarsa yen Ki Manguyu, kang garwa darbe putrestri, kathah wong kang sung pon- empon.
* Krajanipun, Kembaran namaning dhusun, kawarna wus krama, kang padmi kelawan selir, selir dhingin asuta jalu satunggal.

* Sampun sirna kang putra gumanti, munggweng wisma Argapura, kang raka rosa tatanen, pandapa jejel lumbung, wadhah dhele myang ketan wilis, sirnane ingkang rama, sepuh tekadipun, Ni Rara Wetan anama, Nyai Bagelen kang raka teka nuruti, karyane nenun sinjang.
* Lami- lami pan sampun sisiwi, Nyi Bagelen tiga putranira, jalu ingkang sepuh dhewe, estri kalih rinipun, putra jalu ingkang kawarni, Bagus Gentho namanya, putrestri winuwus, Rara Taker Rara Pitrah, putra kalih meksih sami alit- alit, pan kadya rare kembar.

* Jumeneng neng Purwareja, anama Radyan Dipati, Bupati Cakranagara, arinya malih pawestri, krama Tlepok wismeki, namanira sampun sinung, Secawikrama rinya, jalu dadya wedana ring, Jenar Ngrawong Tumenggung Wiranegara.


Serat punika kaperang dados sekawan perangan.
1. Perangan siji ngewrat sarasilah Cakranagara saking galur Banyuurip, kawiwitan saking Panji Asmara Bangun ing karaton Jenggala peputra Raden Laleyan ngantos Cakranagara saking trah ibu.
2. Perangan Loro ngewrat sarasilah Cakranagara saking galur Lowano, kawiwitan saking Ki Buyut Singgela peputra Adipati Anden Lowano ngantos Cakranagara saking trah ibu.

3. Perangan Telu ngewrat sarasilah Cakranagara saking galur Bagelen, kawiwitan saking Nabi Adam peputra Nabi Sis ngantos Cakranagara saking trah rama.
4. Dene Perangan Papat ngewrat maneka warna carita ingkang dumados rikala mangsa karaton Mataram, lan sanes- sanesipun.


Kaserat dening Suwita Pawira
Kalatinaken dening Witoyo.
Cetakan pertama, Juli 2024
viii+ 130 halaman
CV. Win Media

Pawira, Suwita, 1932. Babad Banyuurip, Purworejo: tulisan tangan

Senin, 11 Agustus 2025

Pasareyan Agung Giriloyo

Makam Giriloyo sejatinya adalah lokasi pertama yang dipilih oleh Sultan Agung jika kelak ia mangkat. Namun, lokasi ini kemudian diminta oleh sang paman. Sultan Agung kemudian memilih lokasi kedua yakni Pajimatan sebagai area makamnya.

Pajimatan adalah lokasi pilihan kedua Sultan Agung. Sesungguhnya gumpalan tanah dari Mekah tidak langsung jatuh di Pajimatan. Namun, di tempat bernama Giriloyo. Tanah itu dilemparkan oleh Sunan Kalijaga.

Menurut versi lain, lokasi ini awalnya hendak dijadikan komplek makam raja oleh Sultan Agung. Ia bahkan sudah menyelesaikan pembangunannya. Namun, Pangeran Juminah, yang tak lain adalah pamannya, meminta izin agar ia boleh dimakamkan di lokasi ini. Sultan Agung akhirnya mengabulkan permintaan sang paman.

Sosok Pangeran Juminah alias Pangeran Blitar disebut H. J. De Graaf dalam Puncak Kekuasaan Mataram sebagai anak ke- 18 Senopati. Ia punya nama asli Raden Mas Bagus. Pola penamaan ini mirip dengan 2 pangeran lain yang sama- sama menggunakan nama tempat di Jawa bagian timur: Pangeran Purbaya dan Pangeran Singasari. Ia juga disebut dengan gelar lebih tinggi, panembahan.

Pangeran ini juga turut disebut sebagai salah satu pemimpin perang Mataram. Namun, De Graaf mengatakan keberadaan sosoknya lebih menarik perhatian pihak Belanda bukan karena kemampuan militernya melainkan karena kedekatan hubungannya dengan sang raja. De Graaf menyebut, kepada Juminah lah pembangunan makam diserahkan. Menurut laman Kemendikbud Makam Giriloyo dibangun antara tahun 1628- 1629.

Setelah permintaan sang paman, Sultan Agung terpaksa mengubah keinginan awalnya untuk menggunakan area ini sebagai makamnya. Belakangan ia mencari lokasi lain setelah permintaan sang paman dikebumikan di lokasi tersebut. Pilihan jatuh ke Bukit Merak yang sebenarnya masih berada di satu rangkaian pegunungan dengan Giriloyo. Jaraknya pun tidak sampai 2 kilometer dan kini berada di satu kalurahan.

Dalam skala lebih kecil dan sederhana, Makam Giriloyo punya beberapa kemiripan dengan Makam Pajimatan. Di bagian bawah ada masjid kagungan dalem. Ada pula anak tangga selebar sekitar 3 meter menuju makam. Area utama makam juga membujur dari barat ke timur dengan 2 sayap. Tersebar pula beberapa makam umum di sekitar anak tangga.

Total, ada 65 nisan di komplek Makam Giriloyo. Tokoh utama di makam ini ada 4 yaitu Pangeran Juminah, Sunan Cirebon atau Panembahan Giriloyo, Kanjeng Ratu Mashadi (ibu dari Sultan Agung) dan Kanjeng Ratu Pembayun (permaisuri Amangkurat I). Semua pusara tadi berada di sayap barat kecuali makam Sunan Cirebon yang berada di sebuah bangunan sayap timur.

Selain itu ada pula makam Kiai Ageng Giring, Kiai Ageng Gentong, serta Tumenggung Wiraguna dan istri. Saya memastikan ulang bahwa sosok Kiai Ageng Giring adalah orang yang sama dengan Ki Ageng Giring III di Sodo.

Sementara Tumenggung Wiraguna adalah panglima perang sekaligus orang kepercayaan Sultan Agung. Nama ini menjadi salah satu tokoh penting di novel Roro Mendut karya Y. B. Mangunwijaya.

Mayoritas pusara di sini berbentuk tatanan batu dengan nisan bergaya hanyakrakusuman.

Sayap makam sisi barat berada di bagian lebih tinggi dengan gapura supit urang namun sudah rusak. Beberapa bagian tembok juga diwarnai keretakan. Pintu bangunan makam sayap barat telah lapuk dan kini dilapisi pinti besi sebagai pengaman tambahan.

Di area ini juga terdapat sebuah batu bernama selo tilas. Menurut abdi dalem makam, batu ini adalah gumpalan tanah yang dulunya dilemparkan dari Mekah. Di dekat makam Kiai Ageng Giring, ada sebuah sumur yang airnya dipercaya punya aneka khasiat, bahkan manjur untuk mengusir hama di sawah.

Beberapa versi menyebutkan ketika Sultan Agung mencari lokasi baru, beliau melempar lagi sedikit tanah dari sini dan juga sering digunakan oleh sang raja untuk duduk.

Memasuki sayap barat, ada satu buah nisan dengan bentuk mencolok. Dimensinya lebih besar dibanding makam lainnya, permukaannya polos dan berwarna hitam. Tertulis di papan nama di dekat kepala nisan, Sekaran sepen. Ini adalah sebuah makam tiban yang dipercaya datang begitu saja di Makam Giriloyo.

Menurut cerita, secara fisik, makam Sultan Agung berada di Pajimatan, namun, secara batiniyah, makam beliau berada di sini, maka muncul sekaran sepen ini. Karena beliau sebenarnya ingin dimakamkan di Giriloyo. Misteri tidak berakhir di situ karena di sekitar makam tiban ini juga ada beberapa umpak batu.

Menurut cerita dari para abdi dalem terdahulu, konon, sekaran sepen dan 3 nisan lain disekitarnya pernah dipasang sebuah cungkup (bangunan beratap pelindung makam). Namun, cungkup itu tiba- tiba hilang begitu saja. Belakangan cungkup itu ditemukan di daerah Demak dan hanya menyisakan umpak batu saja.

Makam di sayap barat secara sederhana dibagi dalam 2 area. Di area barat bersemayam para tokoh besar yaitu Pangeran Juminah, Kanjeng Ratu Hadi, Kanjeng Ratu Pembayun. Sementara di luar pagar sayap barat juga terdapat sederet makam prajurit. Makam disini menggunakan papan nama dari kayu buatan para abdi dalem. Tentu saja itu hanya untuk makam yang sudah diketahui namanya karena tidak semua nama diketahui para abdi dalem.

Salah satu nama menarik di makam ini tentu saja Sunan Cirebon. Nama ini juga disebut dengan Sultan Cirebon V dalam laman Kemendikbud. Terkait hubungannya dengan Sultan Agung, bahwa beliau ini merupakan cucu menantu sang raja dan meninggal ketika berada di Mataram.

Jangan berharap ada papan informasi. Mayoritas bangunan masih asli, bukan karena disengaja namun karena minimnya perhatian. Bangunan baru hanya berupa bangsal di depan masjid dan tempat istirahat peziarah.

Bersama Banyusumurup dan Pajimatan, Giriloyo adalah salah satu dari 3 makam milik keraton di Imogiri. Dibanding 2 lainnya, secara urutan kronologis ini adalah makam paling tua. Sama seperti 2 makam lainnya, Giriloyo juga dijaga oleh abdi dalem dari Kraton Yogyakarta dan Surakarta. Kisah- kisah di Makam Giriloyo agaknya masih tertutup dengan kejayaan dan perhatian khalayak terhadap Pajimatan.

Bandingkan juga dengan Banyusumurup yang sering disebut makam para musuh raja. Banyusumurup lebih beruntung rasanya karena sudah dilengkapi papan informasi. Abdi dalemnya pun lebih banyak. Di Giriloyo ada sekitar 10 abdi dalem. Keadaannya dibuktikan dengan pagar makam yang sudah retak, pintu masuk yang lapuk, gerbang dengan runtuhan di bagian atas dan jalan naik menuju makam yang sederhana.

Di sini bersemayam tokoh- tokoh penting Mataram Islam di masa silam. Lebih penting lagi sebab makam ini adalah lokasi incaran awal Sultan Agung, raja besar Mataram, saat hendak membangun area makam untuk beliau dan keturunannya. Tidak ada pula narasi makam ini sebagai lokasi awal makam raja- raja di laman Keraton Yogyakarta.

Perhatian terhadap area ini malah lebih tertuju ke Masjid Agung Giriloyo di bagian bawah makam. Bangunan ini 2 tahun terakhir terus mengalami renovasi dan pembaruan dari pihal keraton untuk mengganti bagian atap dan tiang kayu.



mojok.co/liputan/histori/makam-giriloyo-rumah-peristirahatan-terakhir-sultan-agung-yang-dibatalkan/amp/

Jumat, 08 Agustus 2025

Segoroyoso, Taman Laut Mataram

Terletak di wilayah Pleret, Bantul. Di masa lalu terkenal dengan taman lautnya. Terdapat insfrastruktur yang maju: taman indah, kolam dan kanal air mengelilingi tembok keraton. Yang paling mutakhir ialah keberadaan danau buatan yang luas.

Keindahan dan kemajuan Segoroyoso masih bisa ditelusuri melalui sejumlah babad dan catatan harian Belanda yang bernama Dagh- register. Misalnya di Babad Momana, tersebut bahwa pada 1637, Raja Mataram Sultan membangun bendungan di Sungai Opak. Selanjutnya, penerusnya, Amangkurat I melanjutkan proyek tersebut.

Amangkurat I juga memboyong Istana Mataram dari Kerta ke Pleret. Sebab saat itu istana di Kerta kerap rusak tertimpa bencana. Salah satunya kerap terjadi kebakaran lantaran kontruksi utamanya terbuat dari kayu.

Kegagalan serangan Mataram pimpinan Sultan Agung ke Batavia juga mempengaruhi perpindahan istana ini. Rentannya pertahanan membuat Amangkurat I merasa bahwa istana perlu berpindah ke tempat baru yang lebih kokoh untuk mewadahi besarnya kekuatan raja.

Dagh- register 7 Juli 1659 menyebutkan bahwa Amangkurat I bersama permaisurinya kerap mengunjungi 'kolam yang sedang digali'. Pada catatan setelahnya, penyebutan danau tersebut mulai menggunakan nama Segoroyoso.

Pada 12 September 1661, perintah membangun kolam yang mengelilingi istana kembali keluar. Amangkurat I hendak menjadikan istananya sebagai pulau di tengah danau. Menurut catatan tersebut, proyek ini melibatkan sekitar 300 ribu pekerja yang kebanyakan berasal dari daerah pesisir dan mancanegara.

Dalam catatan Dagh- register tahun 1663, Susuhunan gemar berperahu di sana. Rentang waktu panjang yang terjelaskan dalam catatan ini memunculkan hipotesa bahwa pembuatan bendungan dan danau dibangun secara bertahap.

Dalam catatan terakhir Babad Sengkala, pada 1666, Kerajaan Mataram membendung Kali Winongo untuk kepentingan pembangunan danau Segoroyoso. Danau ini tidak hanya sekedar taman rekreasi bagi raja, melainkan juga sebagai tempat latihan perang prajurit angkatan laut kerajaan.

Kini, Desa Segoroyoso telah berusia 367 tahun. Bentuk visualisai Segoroyoso di masa lalu masih tersimpan di Museorium Sejarah Universitas PGRI Yogyakarta. Salah satunya dalam bentuk maket. Dari maket tersebut, Keraton Plered layak disebut sebagai istana indah yang pernah dibuat Kerajaan Mataram. Dari arah keraton, orang- orang bisa melihat lanskap perairan luar yang di sisi selatannya terdapat Pegunungan Seribu.


mojok.co/kilas/memori/menikmati-keindahan-desa-segoroyoso-di-masa-lalu-taman-laut-mutakhir-mahakarya-raja-mataram/

Lokomotif Sri Gunung

Nama Sri Gunung merupakan sebuah julukan bagi lokomotif kelas berat yang pernah ada di Indonesia pada sejarah perkeretaapian Indonesia. Selain Si Kuik yang merajai di berbagai medan dan kondisi alam Indonesia, adalah Sri Gunung yang menjadi saingan utamanya.

Lokomotif buatan Swiss yang pernah merajai jalur lintas pegunungan di Jawa Barat (tanah Priangan). Walau memiliki ukuran yang besar, tetapi untuk kekuatan laju dan daya angkut, telah teruji dengan baik.

Setelah masa kejayaan Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) di Semarang dan sekitarnya, berdirilah Staat Spoorwagen (SS) yang mencoba menguasai wilayah Jawa Barat dan Jawa Timur. Dengan mengusung konsep kereta uap berukuran kecil, yakni 1.067 mm untuk ukuran lebar lokomotifnya.

SS menghadapi tantangan berupa daerah pegunungan yang terjal akhirnya mengoperasikan dua jenis lokomotif yang memiliko karakternya masing- masing. Pertama adalah Si Kuik, yang dalam kapasitasnya hanya mampu menarik beban yang ringan dibandingkan dengan Sri Gunung.

Jalur menanjak di daerah Cibatu, Cikajang, Garut dan Purwakarta membuat Sri Gunung memiliki peran besar dalam kisah perjalanannya. Kecepatannya yang berkisar hingga 55 km/ jam dalam posisi berbelok membuat Sri Gunung menjadi lokomotif favorit bagi SS.

Hingga pada tahun 1927, SS mendatangkan 30 unit lagi lokomotif model Sri Gunung atau C 50. 16 unit dari SLM Swiss dan 14 unit dari Werkspoor Belanda. Selain dari ketangguhannya, pengoperasian dan perawatannya yang lebih ringkas dibanding Si Kuik, membuatnya dapat bertahan hingga masuknya era industri kereta api diesel.

Jika dilihat dari ukuran jalur lintas Jawa Barat melalui rute selatan hingga ke Jawa Timur, maka jalur ukuran 1.067 mm adalah penguasanya. Termasuk Jawa Tengah bagian selatan, via Kroya yang terhubung hingga Yogyakarta.

Hanya ada tiga lokomotif Sri Gunung yang tersisa hingga saat ini, pertama berada di Museum Transportasi TMII, kedua berada di Museum Kereta Api Ambarawa dan yang ketiga berada di Belanda. Sedangkan dua yang berada di Indonesia kerap dijadikan rujukan dalam melakukan studi historis mengenai sejarah Kereta Api Indonesia (KAI).

Hanya Sri Gunung lah lokomotif yang dapat bertahan hingga kini, lantaran lokomotif Si Kuik saat ini sudah tidak dapat diketemukan (musnah) karena berbagai macam faktor.

Lokomotif lintas zaman Sri Gunung, mungkin sesuai nama yang diberikan oleh orang Belanda. Dengan julukan Bergkoningin yang artinya lokomotif uap raksasa. Lokomotif ini harus mengakhiri masa dinasnya pada tahun 1984, dengan rute terakhir Cibatu- Garut.


kompasiana.com/novitadesywigesia3970/63f1085008a8b5456243c725/kereta-api-indonesia-misteri-lokomotif-sri-gunung

Selasa, 05 Agustus 2025

Catatan Museum Pleret

*Kraton Kerta

Dari catatan Jan Vos seorang Belanda yang berkunjung ke Kerta pada 1624, didapatkan gambaran umum mengenai kondisi fisik kompleks istana baru Mataram Islam yang dominan menggunakan bahan bangunan berupa kayu. Ia memberikan deskripsi mengenai adanya lapangan luas (alun- alun) yang bersih dan dikelilingi pagar kayu. Jan Vos mengidentifikasi pula adanya berbagai lapis gapura besar dan halaman lain di lingkup istana.

Kemudian dibangun Siti Hinggil yang mengubah denah bangunan yang sudah ada. Pagar kayu dan luas alun- alun digeser ke arah utara. Selain itu, mulai dikerjakan pula pembangunan sejumlah taman dan bangunan- bangunan lain.


1) 1648; kraton baru telah berdiri
2) 1649; Masjid Agung Plered dibangun
3) 1650; pemugaran Bangsal Witana serta proses pembangunan Siti Hinggil yang terbuat dari batu, bata dan kayu
4 ) 1653; pembuatan batu untuk membangun Karadenan, tempat tinggal Putra Mahkota

5) 1654; Prabayaksa atau kediaman raja telah selesai dibangun
6) 1659; proses meninggikan tembok benteng istana
7) 1662; pembangunan sebuah bangsal di halaman Sri Manganti


*Pleret di Era Kolonial
Pasca dipindahkannya keraton Mataram ke Kartasura, kisah tentang Plered tidak banyak diketahui. Demikian pula peristiwa yang terjadi di Pleret pada sisa abad ke-17 dan ke-18 meninggalkan banyak misteri.

Perang Diponegoro.
Salah satu peristiwa penting pada era Kolonial yang memberi banyak perubahan pada masyarakat Jawa terjadi pada 1825-1850 dengan berlangsungnya Perang Diponegoro.

Setelah Belanda menyerbu markas Diponegoro di Selarong, pengejaran atas Diponegoro dan para pengikutnya terus menerus ditingkatkan. Jenderal Van Geen memimpin pengejaran di Utara Yogyakarta dengan membawa sejumlah koloni yang dipimpin oleh Co- chious, Sollewijn dan Verboon yang mengomando pasukan cadangan.

Pada sisi lain, Basya Kerta Pengalasan, salah satu panglima Diponegoro, yang berhasil mencapai Pleret, kemudian menggunakan sisa- sisa benteng keraton yang telah lama ditinggalkan itu sebagai kubu pertahanan yang kuat. Di benteng inilah, pasukan Diponegoro mengkonsolidasikan diri dan mengumpulkan pasukan yang cukup banyak. Sejumlah catatan Belanda menyebutkan antara 1000 sampai 1500 orang.

Pabrik Gula Kedaton.
Pasca Perang Jawa, pemerintah kolonial menerapkan Cultuurstelsel (Sistem Tanam Paksa) di Jawa namun tidak berlaku di wilayah vorstenlanden. Pada sekitar 1862, di Pleret didirikan sebuah pabrik gula milik J. B. Ockerse dan P. H. Versteeg melalui Cultuur- Mij. Adapun pabrik yang didirikan dinamai Kedaton Plered Suikerfabriek karena lokasinya berada di tempat yang dahulunya merupakan Kedaton Pleret. Pada era revolusi kemerdekaan, pabrik ini dibakar oleh para pejuang yang sedang melancarkan strategi bumi hangus. Api dari kobaran pabrik tersebut, diceritakan, tidak padam seharian dan menghasilkan gulali raksasa.


*Sultan Agung

Di bawah kepemimpinan Sultan Agung Mataram Islam berkembang menjadi kerajaan terbesar di Jawa. Hingga tahun 1624, tercatat sebagian besar wilayah pesisir utara dan timur laut Jawa telah berhasil diintegrasikan olehnya. Bahkan pada 1625, fortifikasi kerajaan Surabaya yang termahsyur akan kekuatan pertahanannya itu, akhirnya dapat ditaklukkan oleh kekuatan Mataram Islam setelah beberapa ekspedisi militer dilancarkan.

Setelah menaklukan Surabaya, kini Sultan Agung berhadapan dengan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dalam perebutan hegemoni di Jawa bagian barat. Aktivitas niaga di sepanjang pantai utara dihentikan. Dua kontingen laskar prajurit Mataram menempuh perjalanan setidaknya 600 kilometer menuju Batavia, masing- masing tiba pada bulan Agustus dan Oktober 1628. Serangan demi serangan yang dilancarkan bala pasukan Mataram menyebabkan benteng VOC di Batavia beberapa kali terancam jatuh namun akhirnya gagal.

Sultan Agung memerintahkan pembangunan makam yang berada di atas bukit yang mulai dikerjakan pada 1551 J (1629- 1630 M). Sultan Agung membangun dua sekaligus, ada di Girilaya pada 1629 dan di Bukit Merak, Imogiri.

Pada 1646 (kemungkinan paruh awal Februari) Sultan Agung wafat karena sakit di pendapa keraton Kerta. Tahta kemudian dilanjutkan salah satu puterannya yang kemudian dikenal dengan gelar Susuhunan Amangkurat I. Pada masa pemerintahannya, keraton dipindahkan ke timur Kerta di tempat yang dinamakan dengan Plered.


*Epilog

Tahun 1670, terbentuk suatu aliansi pemberontakan yang mengancam kedudukan Susuhunan Amangkurat I sebagai raja Mataram Islam. Raden Kajoran (Panembahan Rama), mempertemukan Raden Trunajaya dengan Putra Mahkota. Menyadari bahwa api perlawanan terhadapnya semakin membesar, Amangkurat I memperbarui perjanjian dengan Kompeni agar mendapatkan bantuan militer yang memadai.

Pada Maret 1677, kekuatan gabungan Kompeni Mataram berhasil memukul mundur barisan Trunajaya dari Surabaya. Tetapi, tanpa disangka, proses mundurnya Trunajaya ke pedalaman berakibat pada hancurnya istana Mataram Islam di Plered pada bulan Mei-Juni. Sebelum peristiwa bumi hangus istana itu terjadi, Amangkurat 1 beserta keluarga dan sejumlah abdinya telah berhasil menyelamatkan diri ke arah Tegal.

Dalam pelariannya. Amangkurat I mangkat dan digantikan oleh Putra Mahkota yang mengenakan gelar Susuhunan Amangkurat II, seorang raja tanpa istana dan tidak memiliki harta kerajaan ketika dinobatkan. Mendapati istana di Plered telah dijamah kaum pemberontak dan hancur, Susuhunan Amangkurat II memindahkan ibu kota Mataram Islam ke Kartasura.

Setelah Amangkurat II wafat, ia digantikan oleh puteranya, yaitu Susuhunan Mas atau Amangkurat III (memerintah tahun 1703-1708). Pada masa pemerintahannya terjadi konflik suksesi antara Amangkurat III dan pamannya yaitu Pangeran Puger. Konflik dimenangkan oleh Pangeran Puger yang merupakan adik Amangkurat II. Setelah naik tahta Mataram ia bergelar Pakubuwono I (PB I, memerintah tahun 1703-1719).

Pengganti PB 1 adalah puteranya yang bergelar Amangkurat IV atau Susuhunan Prabu (memerintah tahun 1719-1727). Pengganti Amangkurat IV adalah puteranya yang bergelar Pakubuwono II (PB II). Kerajaan Mataram dilanda kerusuhan akibat pemberontakan etnis Cina dari Batavia terhadap Belanda. Akibat peristiwa-peristiwa itu istana Mataram di Kartasura menjadi rusak berat. Kemudian PB II mempunyai ide untuk membangun dan memindahkan istana baru di Desa Sala. Pakubuwana II mendiami keraton baru ini hanya dalam waktu selama tiga tahun. Pada tahun 1749 PB II wafat. la digantikan oleh puteranya yang kemudian bergelar Pakubuwono III. Pada masa pemerintahannya kerajaan Mataram menghadapi perlawanan hebat dari Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi. Perlawanan Mangkubumi berhenti setelah adanya kesepakatan dalam bentuk Perjanji an Giyanti pada 15 Februari 1755. Perjanjian Giyanti menghasilkan keputusan penting berupa pembagian kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat.


sumber museum pleret

Minggu, 03 Agustus 2025

Museum Pleret

 1. Peninggalan- peninggalan era hindu- budha


2.

3.

4.

__


1. Papan informasi Sumur Gumuling

2. Timeline sejarah awal pemerintahan Sultan Agung

3. Uang kepeng logam

4. Umpak. Tebaran beraneka umpak. Menandakan adanya rumah- rumah megah dengan tiang- tiang besar penopangnya.

5.

6. Perangko- perangko dengan foto sultan- sultan nusantara

7.

8. Diagram kubu Pangeran Diponegoro melawan kubu Belanda

9.


__


Papan informasi di Situs Masjid Kauman Plered
1. Papan informasi tiga satuan ruang geografis yang telah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya, yaitu Kotagede, Kerta-Plered dan Imogiri

2. Sejarah Kerta- Plered

3.Kawasan Cagar Budaya Kerta- Plered

4. Silsilah Raja Mataram (Panembahan Senapati sampai Perjanjian Giyanti 1755)


































Goa Selarong

 1. Papan informasi Goa Selarong


2. Peta lokasi obyek wisata Goa Selarong

3. Goa Kakung

4.

5. Air terjun

6.












Makam Ratu Malang

 1. Papan informasi Kompleks Makam Ratu Malang


2. Pintu gapura bawah

3. Gapura bawah

4.

5. Papan informasi depan kompleks makam

6. Papan peresmian jalan setapak dan Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta

7. Pagar depan Kompleks Makam

8. Papan informasi Sendang Moyo

9.

10.




















Situs Masjid Kauman Plered

1. Papan informasi Situs Cagar Budaya Kauman - Plered

2. Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta

3. Denah situs masjid

4.

5.