Dari catatan Jan Vos seorang Belanda yang berkunjung ke Kerta pada 1624, didapatkan gambaran umum mengenai kondisi fisik kompleks istana baru Mataram Islam yang dominan menggunakan bahan bangunan berupa kayu. Ia memberikan deskripsi mengenai adanya lapangan luas (alun- alun) yang bersih dan dikelilingi pagar kayu. Jan Vos mengidentifikasi pula adanya berbagai lapis gapura besar dan halaman lain di lingkup istana.
Kemudian dibangun Siti Hinggil yang mengubah denah bangunan yang sudah ada. Pagar kayu dan luas alun- alun digeser ke arah utara. Selain itu, mulai dikerjakan pula pembangunan sejumlah taman dan bangunan- bangunan lain.
1) 1648; kraton baru telah berdiri
2) 1649; Masjid Agung Plered dibangun
3) 1650; pemugaran Bangsal Witana serta proses pembangunan Siti Hinggil yang terbuat dari batu, bata dan kayu
4 ) 1653; pembuatan batu untuk membangun Karadenan, tempat tinggal Putra Mahkota
5) 1654; Prabayaksa atau kediaman raja telah selesai dibangun
6) 1659; proses meninggikan tembok benteng istana
7) 1662; pembangunan sebuah bangsal di halaman Sri Manganti
*Pleret di Era Kolonial
Pasca dipindahkannya keraton Mataram ke Kartasura, kisah tentang Plered tidak banyak diketahui. Demikian pula peristiwa yang terjadi di Pleret pada sisa abad ke-17 dan ke-18 meninggalkan banyak misteri.
Perang Diponegoro.
Salah satu peristiwa penting pada era Kolonial yang memberi banyak perubahan pada masyarakat Jawa terjadi pada 1825-1850 dengan berlangsungnya Perang Diponegoro.
Setelah Belanda menyerbu markas Diponegoro di Selarong, pengejaran atas Diponegoro dan para pengikutnya terus menerus ditingkatkan. Jenderal Van Geen memimpin pengejaran di Utara Yogyakarta dengan membawa sejumlah koloni yang dipimpin oleh Co- chious, Sollewijn dan Verboon yang mengomando pasukan cadangan.
Pada sisi lain, Basya Kerta Pengalasan, salah satu panglima Diponegoro, yang berhasil mencapai Pleret, kemudian menggunakan sisa- sisa benteng keraton yang telah lama ditinggalkan itu sebagai kubu pertahanan yang kuat. Di benteng inilah, pasukan Diponegoro mengkonsolidasikan diri dan mengumpulkan pasukan yang cukup banyak. Sejumlah catatan Belanda menyebutkan antara 1000 sampai 1500 orang.
Pabrik Gula Kedaton.
Pasca Perang Jawa, pemerintah kolonial menerapkan Cultuurstelsel (Sistem Tanam Paksa) di Jawa namun tidak berlaku di wilayah vorstenlanden. Pada sekitar 1862, di Pleret didirikan sebuah pabrik gula milik J. B. Ockerse dan P. H. Versteeg melalui Cultuur- Mij. Adapun pabrik yang didirikan dinamai Kedaton Plered Suikerfabriek karena lokasinya berada di tempat yang dahulunya merupakan Kedaton Pleret. Pada era revolusi kemerdekaan, pabrik ini dibakar oleh para pejuang yang sedang melancarkan strategi bumi hangus. Api dari kobaran pabrik tersebut, diceritakan, tidak padam seharian dan menghasilkan gulali raksasa.
*Sultan Agung
Di bawah kepemimpinan Sultan Agung Mataram Islam berkembang menjadi kerajaan terbesar di Jawa. Hingga tahun 1624, tercatat sebagian besar wilayah pesisir utara dan timur laut Jawa telah berhasil diintegrasikan olehnya. Bahkan pada 1625, fortifikasi kerajaan Surabaya yang termahsyur akan kekuatan pertahanannya itu, akhirnya dapat ditaklukkan oleh kekuatan Mataram Islam setelah beberapa ekspedisi militer dilancarkan.
Setelah menaklukan Surabaya, kini Sultan Agung berhadapan dengan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dalam perebutan hegemoni di Jawa bagian barat. Aktivitas niaga di sepanjang pantai utara dihentikan. Dua kontingen laskar prajurit Mataram menempuh perjalanan setidaknya 600 kilometer menuju Batavia, masing- masing tiba pada bulan Agustus dan Oktober 1628. Serangan demi serangan yang dilancarkan bala pasukan Mataram menyebabkan benteng VOC di Batavia beberapa kali terancam jatuh namun akhirnya gagal.
Sultan Agung memerintahkan pembangunan makam yang berada di atas bukit yang mulai dikerjakan pada 1551 J (1629- 1630 M). Sultan Agung membangun dua sekaligus, ada di Girilaya pada 1629 dan di Bukit Merak, Imogiri.
Pada 1646 (kemungkinan paruh awal Februari) Sultan Agung wafat karena sakit di pendapa keraton Kerta. Tahta kemudian dilanjutkan salah satu puterannya yang kemudian dikenal dengan gelar Susuhunan Amangkurat I. Pada masa pemerintahannya, keraton dipindahkan ke timur Kerta di tempat yang dinamakan dengan Plered.
*Epilog
Tahun 1670, terbentuk suatu aliansi pemberontakan yang mengancam kedudukan Susuhunan Amangkurat I sebagai raja Mataram Islam. Raden Kajoran (Panembahan Rama), mempertemukan Raden Trunajaya dengan Putra Mahkota. Menyadari bahwa api perlawanan terhadapnya semakin membesar, Amangkurat I memperbarui perjanjian dengan Kompeni agar mendapatkan bantuan militer yang memadai.
Pada Maret 1677, kekuatan gabungan Kompeni Mataram berhasil memukul mundur barisan Trunajaya dari Surabaya. Tetapi, tanpa disangka, proses mundurnya Trunajaya ke pedalaman berakibat pada hancurnya istana Mataram Islam di Plered pada bulan Mei-Juni. Sebelum peristiwa bumi hangus istana itu terjadi, Amangkurat 1 beserta keluarga dan sejumlah abdinya telah berhasil menyelamatkan diri ke arah Tegal.
Dalam pelariannya. Amangkurat I mangkat dan digantikan oleh Putra Mahkota yang mengenakan gelar Susuhunan Amangkurat II, seorang raja tanpa istana dan tidak memiliki harta kerajaan ketika dinobatkan. Mendapati istana di Plered telah dijamah kaum pemberontak dan hancur, Susuhunan Amangkurat II memindahkan ibu kota Mataram Islam ke Kartasura.
Setelah Amangkurat II wafat, ia digantikan oleh puteranya, yaitu Susuhunan Mas atau Amangkurat III (memerintah tahun 1703-1708). Pada masa pemerintahannya terjadi konflik suksesi antara Amangkurat III dan pamannya yaitu Pangeran Puger. Konflik dimenangkan oleh Pangeran Puger yang merupakan adik Amangkurat II. Setelah naik tahta Mataram ia bergelar Pakubuwono I (PB I, memerintah tahun 1703-1719).
Pengganti PB 1 adalah puteranya yang bergelar Amangkurat IV atau Susuhunan Prabu (memerintah tahun 1719-1727). Pengganti Amangkurat IV adalah puteranya yang bergelar Pakubuwono II (PB II). Kerajaan Mataram dilanda kerusuhan akibat pemberontakan etnis Cina dari Batavia terhadap Belanda. Akibat peristiwa-peristiwa itu istana Mataram di Kartasura menjadi rusak berat. Kemudian PB II mempunyai ide untuk membangun dan memindahkan istana baru di Desa Sala. Pakubuwana II mendiami keraton baru ini hanya dalam waktu selama tiga tahun. Pada tahun 1749 PB II wafat. la digantikan oleh puteranya yang kemudian bergelar Pakubuwono III. Pada masa pemerintahannya kerajaan Mataram menghadapi perlawanan hebat dari Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi. Perlawanan Mangkubumi berhenti setelah adanya kesepakatan dalam bentuk Perjanji an Giyanti pada 15 Februari 1755. Perjanjian Giyanti menghasilkan keputusan penting berupa pembagian kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat.
sumber museum pleret
Tidak ada komentar:
Posting Komentar