Senin, 18 Agustus 2025

Serat Babad Banyuurip II - RH Oteng

Kemudian para Bekel Banyuurip diperintahkan untuk menunjukkan tempat- tempat untuk tinggal mereka. Adapun tempat tinggal Ki Gedhe Sukawati diberi nama Dusun Sukawaten dan tempat nggegola (melatih) para Pemuda untuk menjadi prajurit disebut Desa Golok asal kata dari nggegola dan tempat tinggal para Bintoro (Bintara) yang melatih mereka disebut Desa Bintarang.

Sedangkan tempat tinggal Ki Gedhe Wongsorogo disebut dukuh Wongsoragan dan para pengiring yang berasal dari Surabaya menempati dusun yang disebut Dusun Surabayan yang kemudian berubah menjadi Dusun Sururejo. Semuanya ada di wilayah Kecamatan Banyuurip sekarang.

Selanjutnya tempat yang dipakai untuk merawat memelihara para pemuda- pemuda calon prajurit itu disebut Desa Persudi (dari kata Mersudi yang artinya merawat) kemudian berubah menjadi desa Persidi, sekarang termasuk kecamatan Purwodadi.

Ki Gedhe Wongsorogo karena dia senang dengan para pemuda yang bergodheg dan berkumis tebal, maka diapun melatih mereka dengan baik dan dianjurkan semuanya memelihara godheg (bahasa jawanya Jebres) dan berkumis (bahasa Jawanya Brengos).
Sehingga daerah itu disebut Dukuh Jebres dan Dukuh Brengosan, sekarang berada di desa Mangunrejo, Kecamatan Banyuurip.

"Gusti Pangeran, kami berdua siap untuk merebut kembali Majapahit dari tangan Sang Prabu Girindrawardhana Barawijaya VI. Tahta Paduka Ayahanda Gusti harus kembali ke tangan yang berhak Gusti!" Demikian ki Gedhe Sukowati membujuk sang Pangeran.

Tersentak sang Pangeran Tampan, mendengar bujukan rayuan dari kedua Tumenggung Majapahit itu. Kemudian berkata lirih sang Pangeran:

"Paman, rupanya memang sudah menjadi kehendak para Dewata Mulia, bahwa tahta Majapahit harus berpindah tangan, rakyat Majapahit harus berganti Junjungan. Sebaiknya kita tidak terlampau tergesa, paman berdua sebaiknya tinggallah beberapa waktu di Banyuurip ini.

Paman Sukawati nanti tinggal di sebelah Timur Laut, silahkan paman mengumpulkan anak- anak muda untuk dilatih menjadi prajurit yang tangguh. Sedangkan paman Wongsorogo tinggalah di sebelah Timur, juga melatih penduduk di sana untuk bercocok tanam yang baik.

Kemudian para prajurit pengiring paman berdua, yang berasal dari Surabaya sebaiknya tinggal menetap sambil juga membantu kedua paman dalam melatih prajurit dan mengolah tanah. Biar nanti para Bekel Desa Banyuurip yang akan mengantar paman dan para pengiring ke tempat- tempat tadi.

Rakit Ki Buyut Singgelo dibawa air sungai yang kebetulan saat itu sedang banjir. Sampai pada suatu saat, rakit Ki Buyut terperangkap di sebuah kedhung (palung sungai) di tepi desa, sehingga hanya berputar- putar tapi tidak hanyut. Oleh karena itulah desa di pinggir sungai tersebut nantinya akan dikenal dengan nama Krandhegan, dari kata Kandheg yang berarti terhenti.

Akhir perjalanan dengan rakit yang dilakukan Ki Buyut adalah ketika rakitnya memasuki perangkap ikan yang biasa disebut Bara, sehingga daerah tersebut disebut Desa Bara (di daerah Kecamatan Banyuurip sekarang).

Ternyata yang memasang perangkap tersebut adalah ki Bodho, seorang pemuda desa. Setelah berkenalan sekedarnya, maka oleh si pemuda Ki Buyut dihadapkan kepada pimpinannya, yaitu ki Kuwu Desa Ganggeng.

Diajak pula beberapa orang, abdi Kademangan yang perkasa, akan bakal pengusung raga Rakanda, Sang Pangeran Jayakesuma kembali ke Banyuurip.

Ki Manguyu menemui Ki Lowo Ijo yang tengah menanti, sambil menunggui jenazah kedua Kesatria tahadi. Dengan jelas ki Lowo Ijo menceritakan, perihal tewasnya kedua satria itu, tanpa ada yang tertinggal, diakhiri dengan permintaan maaf atas keteledorannya itu.

Ki Manguyu tiada dapat berkata lain selain mengucapkan terima kasih dan memohonkan maaf akan kesalahan rakanda Pangeran, baik kepada keluarga Pakuwon Ganggeng maupun kepada keluarga Kadipaten Loano.

Kemudian dimintakan izin untuk membawa raga tak bernyawa rakanda Pangeran, kepada ki Lowo Ijo, berniat untuk disempurnakan di Banyuurip sahaja.

Tiada keberatan dan tiada pula keengganan, ki Lowo Ijo menyerahkan dengan baik kepada ki Manguyu, jasad sang Pangeran untuk dibawa ke Banyuurip. Lalu keris pusaka Majapahit ki Panubiru pun segera diambil dan dimasukkan ke dalam warangkanya, lalu dengan hati- hati diselipkan di pinggangnya.

Seorang tetua Pakuwon tampil dengan penuh wibawa, lalu mohon waktu kepada ki Lowo Ijo maupun ki Manguyu, untuk angkat bicara. Setelah diijinkan, maka berdirilah dengan tenang dan berwibawa ki Tetua Pakuwon dihadapan semua penduduk Pakuwon Ganggeng yang hadir.

"Wahai saudara- saudaraku, hari ini kita telah menyaksikan pemimpin kita yang kita cintai, yang kita muliakan, di depan jasad tanpa nyawanya, yang tewas sampyuh melawan Pangeran Jayakesuma dari Banyuurip.

Mulai saat ini kita orang Ganggeng, tidak boleh ada perkawinan anak- anak kita pemuda- pemudi Ganggeng dengan pemuda- pemudi Banyuurip. Karena hanya malapetakalah yang akan menimpa mereka yang berani melanggar pepali ini. Camkanlah wahai para kadang Pakuwon ganggeng!"

Adipati Anden mengikuti langkah sang permaisuri. Sampailah di tepi Sungai Bogowonto yang indah dan jernih. Mereka beristirahat di bawah sebuah pohon yang amat rindang dan berbuah lebat.

Oleh suaminya dijawab bahwa pohon itu bernama pohon LO yang buahnya enak dimakan. Akibat percakapan keduanya itulah maka mereka menjadi berkenalan kembali dalam bahasa Jawa disebut Wanuh (kenal). Karena terjadi di bawah pohon LO itulah rukunnya kembali Permaisuri dan sang Adipati Anden.

Maka dikemudian hari daerah tersebut dikenal dengan Lowano, yang berasal dari LO dan WANUH (pohon LO tempat rukun kembali). Daerah tersebut sekarang dikenal dengan nama Loano.

Menurut bahasa Sansekerta/ Jawa Kuno, LOWANO berasal dari kata LO (artinya pohon LO, tetapi juga LOH artinya tempat yang subur makmur tiada kekurangan air dan WANUA atau desa, digabungkan menjadi LOHWANUA artinya Desa yang subur makmur tak kekurangan air dan memang senyatanya daerah tersebut sampai sekarang adalah daerah subur makmur tiada kekurangan air.

Lalu kata LOHWANUA lama kelamaan berubah menjadi LOWANU atau LOANO, jadilah nama desa itu LOANO atau LOWANO, yang dikemudian hari menjadi nama Kecamatan LOWANO, yang terletak disebelah utara daerah Kecamatan Purworejo.

Menurut Silsilah LOWANU, keturunan Adipati Anden yang kemudian bergelar BETARA LOWANU tersebut tercatat pula nama Nyai Cokroleksono yang merupakan nenek dari Kangjeng Raden Adipati Cokronegoro Pertama, yaitu Bupati Purworejo yang pertama.


Selesai tatahan, ki Manguyu mengajak belahan jiwanya menyaksikan, sukacita sang sudewi, demi melihat gambar yang indah terwujud. Lalu berkata lirih kepada rakanda.

"Aduuh kakang, tiada terkira hamba bersuka, melihat tatahan yang sempurna, gambar kedua putra raja kuna, yang tampan dan yang jelita."

"Dinda garwa kakang yang setia, tersanjung kakanda mendengar atur adinda menjunjung, karya kakanda yang sederhana, berputra molek ataupun tampan, semua akan kita terima, pemberian Dewata Mulia Raya."

"Betul sekali ujar kakanda, mulai kali ini, izinkan hamba berpesan agar nama sendang ini disebut "Sendang Tinatah" artinya sendang yang mempunyai gambar tertatah pada batu keras pembatas sendang. Kemudian kepada semua penduduk dan keturunan hamba, apabila nanti mengandung putra hendaknya mandi dan minum air Sendang Tinatah ini. Demikian tutur hamba kakang!"

"Sungguh indah nama sendang Tinatah, baiklah, semoga anak keturunan kita semua penduduk Desa Banyuurip, hendaknya menataati dan menjadi sabda adinda Dewi!"

Akhirnya sebutan Sendang Tinatah berubah menjadi Sendang Pinatah.
Sang Sudewi melahirkan bayi perempuan, ni Sinomkesuma. Setah menginjak saatnya menikah, dinikahkan dengan pemuda masih trah Majapahit juga. Kemudian berputra dua orang satria. Bernama Raden Bagus Toka dan Raden Bagus Singa.

Setelah dewasa kedua kaka beradik berniat ingin mengabdi kepada kerajaan.
Yang menguasai wilayah Banyuurip dan seluruh tanah Jawa adalah Kerajaan Mataram disebut juga Ngeksigandha. Yanh bertakhta di Kerajaan Mataram pada saat itu ialah Sang Panembahan Prabu Agung Hanyokrokusumo.

Kemudian Bagus Toko dan Bagus Singo berpamitan kepada kedua orangtuanya, berniat untuk mengabdi ke Plered. Keris pusaka Kyai Panubiru pusaka eyang buyutnya Pangeran Jayakesuma disengkelit di pinggang Bagus Toko, sedangkan adindanya menyengkelit pusaka Kyai Condhong peninggalan eyangnya Ki Manguyu.

Bukit menoreh didakinya, kali Bogowonto yanh saat itu masih deras alirannya di seberanginya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar